UMAT BUTUH PEMIMPIN YANG ISLAMI
Penulis : K.H. Luthfi Bashori
Pemimpin yang islami, ahli beribadah, taat bersyariat, serta hanya takut kepada Allah dan tidak takut kehilangan jabatan saat memperjuangkan kepentingan Islam dan umat Islam, figur pemimpin seperti inilah yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam dewasa ini.
Kenyataannya, dunia Islam saat ini justru seringkali mendapatkan situasi yang berbeda dengan harapan umat, karena sering kali umat Islam mendapatkan pemimpin yang kurang pro terhadap dunia keislaman, bahkan banyak pemimpin yang lebih hanyut dalam kekuasaan serta status keduniaan semata.
Karena banyaknya pengaruh skularisme, pluralisme dan liberalisme (Sepilis) dalam kehidupan masyarakat saat ini, maka pemikiran kontra syariat pun tidak jarang mengidap pada pribadi para pemimpin, sekalipun mereka beragama Islam, namun kenyataannya sangat jauh dari pengamalan syariat Islam secara baik dan benar.
Jangankan akan muncul keinginan menerapkan syariat Islam dalam seluruh kegiatan dan tugas-tugas sebagai pemimpin, bahkan mengaku dirinya adalah pemimpin muslim saja sering kali menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pribadi para pemimpin. Ayat faquulusyhaduu bi anna muslimuun (Katakan: Saksikanlah bahwa aku adalah muslim), sepertinya hanyalah sebuah wacana bagi para pemimpin beragama Islam itu, tanpa ada upaya pengamalan dan penerapan dalam kehidupannya. Hingga sangat jarang umat Islam akan dapat menemukan pemimpin yang benar-benar dapat menjadi khalifah bagi umat mereka.
Ironisnya, pada skala kepemimpinan di lembaga-lembaga, instansi-instansi atau ormas-ormas pun tak jarang yang telah terkikis oleh derasnya virus Sepilis ini, dan akibatnya kepentingan umat Islam seringkali terabaikan, bahkan kalah dengan hiruk pikuk dan gemerlapnya perebutan jabatan serta haus kekuasaan, karena di balik itu semua ada nilai keduniaan menggiurkan yang dapat diraih oleh para pemimpin duniawi itu.
Bukti kongkrit, di negeri mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, bagaimana mungkin perhelatan Miss Word 2013 yang penuh umbar aurat masih bisa lolos, kalau bukan karena upaya pembiaran oleh para pemimpin, padahal mayoritas para pemimpin di negeri ini juga ber-KTP Islam.
Kalau pun ada beberapa pemimpin muslim sejati yang muncul dan benar-benar memperjuangkan harkat dan martabat Islam dan umat Islam yang sesuai syariat secara istiqamah, tanpa takut mengatakan dirinya muslim secara jahri (terang-terangan), maka figur semacam ini umumnya akan segera dikebiri oleh situasi dan keadaan yang kurang mendukung perjuangannya.
Kemudian akan muncul bermacam-macam tuduhan dan stigma negatif, yang akan disematkan kepada pribadi pemimpin muslim sejati, yang berjalan istiqamah di jalan Allah dalam memperjuangkan penerapan syariat Islam di segala keadaan, seperti tuduhan radikal, ekstrim, aliran keras, kurang nasionalis, dan tuduhan-tuduhan miring lainnya.
Bahkan anehnya, tak jarang tuduhan-tuduhan itu justru tercetus dari lisan para pemimpin yang ber-KTP Islam namun dirinya tidak islami dalam menjalani kehidupannya, lantas tuduhan dan stigma negatif itu diamini pula oleh kaum awwam.
Diriwayatkan, konon suatu saat masyarakat mengalami musim paceklik, hingga Raja Abdurrahman Al-Umawi memerintahkan Qadhi Mundzir Al-Baluthi seorang yang alim untuk mengadakan shalat istisqa’ minta hujan untuk negeri mereka.
Ketika utusan Raja Abdurrahman Al-Umawi datang membawa surat perintah, maka Qadhi Mundzir bertanya: Bagaimana engkau melihat keadaan Raja?
Utusan itu menjawab: Aku melihat dia sebagai orang yang paling khusyu’ dan paling banyak berdoa serta merendahkan diri…!
Maka Qadhi Mundzir berkata: Demi Allah, kalian akan segera mendapat hujan. Apabila penguasa bumi tunduk kepada Allah, maka Penguasa langit akan menurunkan rahmat (hujan)...!
Kemudian Qadhi Mundzir meminta kepada stafnya: Serukan shalat istisqa’ kepada masyarakat..!
Maka masyarakat pun datang ke tempat shalat, dan Qadhi Mundzir datang pula, lalu beliau menaiki mimbar sementara orang-orang memandang kepadanya dan mendengarkan dengan seksama apa yang dikhatbahkannnya.
Ketika beliau menghadap kepada para jamaah, maka kalimat yang pertama beliau katakan ialah: Salamun ‘alaikum. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (yaitu) bahwasanya barang siapa (berbuat kejahatan di antaranya kalian lantaran kebodohannya, kemudia ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. AL-AN’AM, 54).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar