MOHON PAMIT WAHAI RAMADLAN
Penulis: Pejuang Islam [ 18/8/2012 ]
K.H. Luthfi Bashori
(18 Agustus di malam Takbiran 1433).
Konon Sy. Ali bin Abi Thalib RA, jika masuk waktu akhir Ramadlan, beliau jarang meninggalkan mihrab (tempat pengimaman shalat), beliau seakan-akan memutuskan untuk bermukim di sana sambil bermunajat kepada Allah disertai tetesan air mata mengalir deras.
Sy. Ali bin Abi Thalib menampakkan kesedihan yang sangat dalam karena harus berpisah dengan bulan yang paling dicintainya, yaitu Ramadlan. Air mata beliau menetes hingga membasahi jenggotnya, sambil diusap jenggot yang basah itu, sambil terus berdzikir kepada Allah tak henti-hentinya hingga menjelang Subuh.
Beliau sudah merasakan betapa nikmatnya selama Ramadlan, sebulan suntuk dapat berdoa mendekatkan diri kepada Allah, seakan-akan beliau dapat bertemu dan berdialog secara langsung dengan Allah, karena dekatnya perasaan beliau kepada-Nya.
Khususnya di bulan Ramadlan yang konon di dalamnya, Allah menurunkan ayat istimewa kepada sang kekasih, Rasulullah SAW : wa idzaa sa-alakaa `ibaadii `annii fa innii qariib (jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, sungguh Aku dekat dengan mereka).
Kedekatan hati Sy. Ali bin Abi Thalib kepada Allah inilah yang mendorong beliau dapat berperilaku mulia semacam itu. Bahkan beliau dengan tegas mengatakan terhadap kehidupan dunia ini :
`` Wahai dunia, engkau selalu memamerkan kemegahan kepadaku atau sengaja terus menggodaku, sungguh aku telah menceraikanmu dengan talak tiga, dan tak mungkin untuk merujukmu kembali, umurmu tinggal sedikit, kelakuanmu amat naif, bahayamu sungguh besar, padahal baru sedikit aku mempersiapkan bekal, untuk bepergian jauh lewat jalan yang penuh liku dan terjal, menuju kampung akhirat ``
Demikianlah guman Sy. Ali bin Abi Thalib dalam membersihkan diri terhadap kehidupan dunia. Namun, bagaimana dengan keadaan kita di penghujung Ramadlan tahun ini?
Lisan kita justru berguman : Alhamdulillah, ternyata sudah berhasil rukyah hilal..., dan rukyah hilal sudah diitsbat pemerintah, jadi esok Ahad pagi kita berlebaran...! Kalimat semacam itu barangkali yang pertama kali kita ucapkan saat mendengar takbir pertama dikumandangkan dan menembus telinga kita.
Jika saja kita menyadari, betapa malu rasanya diri kita jika disandingkan dengan figur Sy. Ali bin Abi Thalib, belum lagi dengan figur Rasulullah SAW, apalagi saat kita akan menghadap Allah. Mengapa demikian ?
Jujur saja kita katakan, semakin dekat datangnya lebaran, yang hanya selangkah lagi akan kita raih Hari Raya Idul Fitri itu, yaa esok hari..., bukannya kita menangis seperti Sy. Ali bin Abi Thalib sebagaimana tertera dalam riwayat di atas. Namun yang ada pada diri kita justru sebaliknya :
Hati kita terasa berbunga-bunga karena telah datang Hari raya Idul Fitri. Kita katakan, selamat datang Hari Kemenangan, selamat berjumpa Hari Lebaran, selamat bertemu Hari Kegembiraan, dan seterusnya.
Hal itu karena kita sudah merasa mampu berpuasa dengan benar, tentunya menurut standar kwalitas puasa kita. Kita sudah merasa banyak beramal shaleh dengan beribadah di bulan Ramadlan ini, sehingga kita sudah merasa mampu dalam mengumpulkan banyak amal kebaikan sebagai bekal menuju kampung akhirat.
Rasanya kita ini lebih mencintai dunia hingga lebih senang berbelanja demi memenuhi kebutuhan lebaran. Kita juga sudah merencanakan acara-acara happy bersama keluarga, handai taulan, karib kerabat, dan mengatur bagaimana caranya memeriahkan Hari Raya Idul Fitri dengan penuh keceriaan, dengan penuh kegembiraan, dengan penuh kemeriahan, semuanya dengan dalih sebagai ajang silaturrahim keluarga.
Hingga banyak di antara kita yang rela jauh-jauh mudik di saat jalanan sedang macet, rela menunggu antrian panjang, rela membeli tiket dengan harga melambung, bahkan terkadang rela melupakan keselamatan jiwa hanya untuk menikmati ritual tahunan berkumpul bersama keluarga di hari lebaran yang selalu kita tunggu-tunggu kedatangannya.
Segala macam jenis makanan kita siapkan, segala macam jenis minuman juga kita hidangkan, yang penting kita dapat merasakan kegembiraan di hari kemenangan itu, yaa tentunya menurut persepsi kita.
Kita tidak peduli, apakah selama bulan Ramadlan ini puasa kita sudah sempurna sesuai aturan main yang ditentukan oleh syariat. Kita tidak peduli apakah shalat kita di bulan Ramadlan ini sudah sesuai dengan rukun dan syaratnya. Kita tidak peduli apakah zakat kita sudah memenuhi kriteria yang diajarkan oleh agama. Atau bahkan kita tidak peduli apakah kita belum atau sudah melakukan kewajiban-kewajiban itu ?
Yang penting rasanya, saat gema tabuh bertalu, takbir berkumandang, suasana riang membahana, baju baru bertumpuk di depan mata, kue lebaran bertebaran di meja-meja, lontong ketupat sudah ada di tempat, maka kita pun sudah siap dan tak mau ketinggalan berada dalam kerumunan itu.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.
Mudah-mudahan Allah mengampuni kita semuanya sekalipun dengan kwalitas keimanan kita yang pas-pasan bahkan cenderung kurang.
Minal A`dziin wal faiziin, kullu `aamin wa antum bikhair, selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 1433 H / 2012 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga seluruh amal ibadah kita diterima dan seluruh dosa kita diampuni oleh Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
K.H. Luthfi Bashori
(18 Agustus di malam Takbiran 1433).
Konon Sy. Ali bin Abi Thalib RA, jika masuk waktu akhir Ramadlan, beliau jarang meninggalkan mihrab (tempat pengimaman shalat), beliau seakan-akan memutuskan untuk bermukim di sana sambil bermunajat kepada Allah disertai tetesan air mata mengalir deras.
Sy. Ali bin Abi Thalib menampakkan kesedihan yang sangat dalam karena harus berpisah dengan bulan yang paling dicintainya, yaitu Ramadlan. Air mata beliau menetes hingga membasahi jenggotnya, sambil diusap jenggot yang basah itu, sambil terus berdzikir kepada Allah tak henti-hentinya hingga menjelang Subuh.
Beliau sudah merasakan betapa nikmatnya selama Ramadlan, sebulan suntuk dapat berdoa mendekatkan diri kepada Allah, seakan-akan beliau dapat bertemu dan berdialog secara langsung dengan Allah, karena dekatnya perasaan beliau kepada-Nya.
Khususnya di bulan Ramadlan yang konon di dalamnya, Allah menurunkan ayat istimewa kepada sang kekasih, Rasulullah SAW : wa idzaa sa-alakaa `ibaadii `annii fa innii qariib (jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, sungguh Aku dekat dengan mereka).
Kedekatan hati Sy. Ali bin Abi Thalib kepada Allah inilah yang mendorong beliau dapat berperilaku mulia semacam itu. Bahkan beliau dengan tegas mengatakan terhadap kehidupan dunia ini :
`` Wahai dunia, engkau selalu memamerkan kemegahan kepadaku atau sengaja terus menggodaku, sungguh aku telah menceraikanmu dengan talak tiga, dan tak mungkin untuk merujukmu kembali, umurmu tinggal sedikit, kelakuanmu amat naif, bahayamu sungguh besar, padahal baru sedikit aku mempersiapkan bekal, untuk bepergian jauh lewat jalan yang penuh liku dan terjal, menuju kampung akhirat ``
Demikianlah guman Sy. Ali bin Abi Thalib dalam membersihkan diri terhadap kehidupan dunia. Namun, bagaimana dengan keadaan kita di penghujung Ramadlan tahun ini?
Lisan kita justru berguman : Alhamdulillah, ternyata sudah berhasil rukyah hilal..., dan rukyah hilal sudah diitsbat pemerintah, jadi esok Ahad pagi kita berlebaran...! Kalimat semacam itu barangkali yang pertama kali kita ucapkan saat mendengar takbir pertama dikumandangkan dan menembus telinga kita.
Jika saja kita menyadari, betapa malu rasanya diri kita jika disandingkan dengan figur Sy. Ali bin Abi Thalib, belum lagi dengan figur Rasulullah SAW, apalagi saat kita akan menghadap Allah. Mengapa demikian ?
Jujur saja kita katakan, semakin dekat datangnya lebaran, yang hanya selangkah lagi akan kita raih Hari Raya Idul Fitri itu, yaa esok hari..., bukannya kita menangis seperti Sy. Ali bin Abi Thalib sebagaimana tertera dalam riwayat di atas. Namun yang ada pada diri kita justru sebaliknya :
Hati kita terasa berbunga-bunga karena telah datang Hari raya Idul Fitri. Kita katakan, selamat datang Hari Kemenangan, selamat berjumpa Hari Lebaran, selamat bertemu Hari Kegembiraan, dan seterusnya.
Hal itu karena kita sudah merasa mampu berpuasa dengan benar, tentunya menurut standar kwalitas puasa kita. Kita sudah merasa banyak beramal shaleh dengan beribadah di bulan Ramadlan ini, sehingga kita sudah merasa mampu dalam mengumpulkan banyak amal kebaikan sebagai bekal menuju kampung akhirat.
Rasanya kita ini lebih mencintai dunia hingga lebih senang berbelanja demi memenuhi kebutuhan lebaran. Kita juga sudah merencanakan acara-acara happy bersama keluarga, handai taulan, karib kerabat, dan mengatur bagaimana caranya memeriahkan Hari Raya Idul Fitri dengan penuh keceriaan, dengan penuh kegembiraan, dengan penuh kemeriahan, semuanya dengan dalih sebagai ajang silaturrahim keluarga.
Hingga banyak di antara kita yang rela jauh-jauh mudik di saat jalanan sedang macet, rela menunggu antrian panjang, rela membeli tiket dengan harga melambung, bahkan terkadang rela melupakan keselamatan jiwa hanya untuk menikmati ritual tahunan berkumpul bersama keluarga di hari lebaran yang selalu kita tunggu-tunggu kedatangannya.
Segala macam jenis makanan kita siapkan, segala macam jenis minuman juga kita hidangkan, yang penting kita dapat merasakan kegembiraan di hari kemenangan itu, yaa tentunya menurut persepsi kita.
Kita tidak peduli, apakah selama bulan Ramadlan ini puasa kita sudah sempurna sesuai aturan main yang ditentukan oleh syariat. Kita tidak peduli apakah shalat kita di bulan Ramadlan ini sudah sesuai dengan rukun dan syaratnya. Kita tidak peduli apakah zakat kita sudah memenuhi kriteria yang diajarkan oleh agama. Atau bahkan kita tidak peduli apakah kita belum atau sudah melakukan kewajiban-kewajiban itu ?
Yang penting rasanya, saat gema tabuh bertalu, takbir berkumandang, suasana riang membahana, baju baru bertumpuk di depan mata, kue lebaran bertebaran di meja-meja, lontong ketupat sudah ada di tempat, maka kita pun sudah siap dan tak mau ketinggalan berada dalam kerumunan itu.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.
Mudah-mudahan Allah mengampuni kita semuanya sekalipun dengan kwalitas keimanan kita yang pas-pasan bahkan cenderung kurang.
Minal A`dziin wal faiziin, kullu `aamin wa antum bikhair, selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 1433 H / 2012 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga seluruh amal ibadah kita diterima dan seluruh dosa kita diampuni oleh Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
sumber asli :
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=517
Tidak ada komentar:
Posting Komentar